BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
belakang
Air merupakan media bagi usaha
budidaya ikan, maka pengelolaan air yang baik merupakan langkah awal dalam
pencapaian keberhasilan budidaya ikan. Secara umum pengelolaan kualitas air
dibagi kedalam tiga bagian, yaitu secara biologi, kimia dan fisika. Dalam hal
ini akan dibahas mengenai pengelolaan air secara kimia, khususnya suhu dan salinitas (kandungan garam)
suatu perairan.
Salah satu parameter kimia lainnya
ialah salinitas. Dalam Oceanografi salinitas diartikan sebagai ukuran yang
menggambarkan tingkat keasinan (kandungan Na Cl ) dari suatu perairan . Satuan
salinitas umumnya dalam bentuk promil (0/00) atau satu bagian perseribu bagian,
misalnya 35 gram dalam 1 liter air (1000 ml) maka kandungan salinitasnya 35‰
atau dalam istilah lainnya disebut psu (practical salinity unit). Air tawar
memiliki salinitas 0 ‰, sedangkan air payau memiliki salinitas antara 1‰ - 30‰,
sedangkan air laut/asin memiliki salinitas diatas 30‰. (Surat Faathir ayat 12)
Dengan dasar pengetahuan di atas
maka dalam usaha budidaya ikan, salinitas air yang digunakan dalam budidaya ikan harus
disesuaikan dengan kisaran salinitas yang dapat ditoleransi oleh ikan. Dalam
laporan kali ini ikan yang digunakan dalam praktikum adalah ikan air tawar
yaitu ikan nila
(Oreochromis niloticus) dan ikan lele (Clarias sp) . Dengan melakukan praktikum ini
dapat diketahui kisaran salinitasdan suhu yang dapat
ditoleransi oleh ikan nila dan ikan lele .
1.2. Tujuan
·
Mahasiswa
dapat mengetahui kisaran salinitas dan suhu yang optimum bagi kehidupan ikan.
·
Mahasiswa
dapat mengetahui kebutuhan kapur untuk menetralkan salinitas dan suhu perairan.
·
Mahasiswa
dapat mengetahui kisaran salinitas dan suhu yang dapat ditoleransi oleh
ikan ikan nila dan ikan lele.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Ikan nila dan ikan lele
Ikan nila Merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan bentuk tubuh memanjang dan
pipih kesamping dan warna putih kehitaman. Nama ilmiahnya adalah Oreochromis
niloticus, dan dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Nile Tilapia. Ikan ini diintroduksi
dari Afrika, tepatnya Afrika bagian timur, pada tahun 1969. Sekarang ikan ini
telah tersebar ke negara-negara di lima benua yang beriklimtropis dan
subtropis. Sedangkan di wilayah yang beriklim dingin, ikan nila tidak dapat
hidup baik. Ikan nila disukai oleh berbagai bangsa karena dagingnya enak dan
tebal seperti dagingikan kakap merah. Bibit ikan didatangkan ke Indonesia
secara resmi oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar pada tahun 1969. Setelah
melalui masa penelitian dan adaptasi, barulah ikan ini disebarluaskan kepada
petani di seluruh Indonesia. Nila adalah nama khas Indonesia yang
diberikan oleh Pemerintah melalui Direktur Jenderal Perikanan.
Sedangkan ikan lele termasuk dalam jenis ikan air tawar dengan ciri – ciri
tubuh yang memanjang, agak bulat, kepala gepeng, tidak memiliki sisik, mulut
besar, warna kelabu sampai hitam.
Kulit lele berlendir
tidak bersisik, berwarna hitam, pada bagian punggung (dorsal) dan bagian
samping (lateral ), sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur merupakan sirip
tunggal sedangkan sirip perut dan sirip dada merupakan sirip dada. Pada sirip
dada terdapat duri yang keras dan runcing yang disebut patil.
2.2
Klasifikasi
ikan nila adalah sebagai berikut :
Kelas : Osteichthyes
Sub-kelas : Acanthoptherigii
Crdo : Percomorphi
Sub-ordo : Percoidea
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis niloticus.
Kelas : Osteichthyes
Sub-kelas : Acanthoptherigii
Crdo : Percomorphi
Sub-ordo : Percoidea
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis niloticus.
2.3
Klasifikasi
ikan lele
Ikan lele termasuk dalam jenis ikan air tawar dengan ciri
– ciri tubuh yang memanjang, agak bulat, kepala gepeng, tidak memiliki sisik,
mulut besar, warna kelabu sampai hitam.
Filum :
Chordata
Kelas :
Pisces
Subkelas :
Teleostei
Ordo :
Ostariophysi
Subordo :
Siluroidae
Famili :
Clariidae
Genus :
Clarias
Spesies :
Clarias sp.
2.4. Salinitas dan Suhu
2.4.1. Salinitas
Salinitas adalah tingkat keasinan
atau kadar garam terlarut dalam air. Salinitas juga dapat mengacu pada
kandungan garam dalam tanah. Kandungan garam pada sebagian besar danau, sungai,
dan saluran air alami sangat kecil sehingga air di tempat ini dikategorikan
sebagai air tawar. Kandungan garam sebenarnya pada air ini, secara definisi,
kurang dari 0,05%. Jika lebih dari itu, air dikategorikan sebagai air payau
atau menjadi saline bila konsentrasinya 3 sampai 5%. Lebih dari 5%, ia disebut
brine .
Garam-garaman utama yang terdapat
dalam air laut adalah klorida (55%), natrium (31%), sulfat (8%), magnesium
(4%), kalsium (1%), potasium (1%) dan sisanya (kurang dari 1%) teridiri dari
bikarbonat, bromida, asam borak, strontium dan florida.
Tiga
sumber utama garam-garaman di laut adalah pelapukan batuan di darat, gas-gas vulkanik dan sirkulasi
lubang-lubang hidrotermal (hydrothermal vents) di laut dalam. Salinitas
ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah total dalam gram bahan-bahan terlarut
dalam satu kilogram air laut jika semua karbonat dirubah menjadi oksida, semua
bromida dan yodium dirubah menjadi klorida dan semua bahan-bahan organik
dioksidasi. Selanjutnya hubungan antara salinitas dan klorida ditentukan
melalui suatu rangkaian pengukuran dasar laboratorium berdasarkan pada sampel
air laut di seluruh dunia dan dinyatakan sebagai:
S (o/oo) = 0.03 +1.805 Cl (o/oo)
(1902)
Lambang o/oo (dibaca per mil) adalah
bagian per seribu. Kandungan garam 3,5% sebanding dengan 35o/oo atau 35 gram
garam di dalam satu kilogram air laut (http://oseanografi.blogspot.com/2005/07/salinitas-air-laut.html).
Diperairan samudra, salinitas
biasanya berkisar antara 34-35‰. Diperairan pantai karena terjadinya
pengenceran, misalnya karena pengaruh aliransungai, salinitas bisa turun
rendah. Sebaliknya di daerah dengan penguapan yang sangat kuat, salinitas bisa
meningkat tinggi. Air payau adalah istilah umum yang digunakan untuk menyatakan
air yang salinitasnya antara air tawar dan air laut. Ada berbagai cara dan
istilah yang digunakan untuk memberikan nama air berdasarkan salinitasnya.
Salah satu misalnya menurut Valikangas dapat diserhanakan sebagai berikut : air
tawar 0-0,5‰, air payau 0,5-17‰, dan air laut lebih 17‰ (Nontji, 2005).
Fraksi terbesar dari bahan terlarut
terdiri dari garam-garam anorganik yang berbentuk ion-ion. Enam jenis anorganik
membentuk 99,28% berat dari bahan anorganik padat. Ion-ion adalah klor,
natrium, sulfat, magnesium, kalsium dan kalium, sedangkan lima iom berikutnya
yaitu bikarbonat, bromida, asam borat dan stronsium menambah 0,71% berat,
sehingga 11 ion ini membentuk 99,99% berat zat terlarut (Nybakken, 1992).
2.4.2. Suhu
Air sebagai lingkungan hidup organisme air relatif tidak
begitu banyak mengalami fluktuasi suhu dibandingkan dengan udara, hal ini
disebabkan panas jenis air lebih tinggi daripada udara. Artinya untuk naik 1°
C, setiap satuan volume air memerlukan sejumlah panas yang lebih banyak dari
pada udara. Pada perairan dangkal akan menunjukkan fluktuasi suhu air yang
lebih besar dari pada perairan yang dalam.
Sedangkan organisme memerlukan suhu yang stabil atau
fluktuasi suhu yang rendah. Agar suhu air suatu perairan berfluktuasi rendah
maka perlu adanya penyebaran suhu. Hal
tersebut
tercapai secara sifat alam antara lain;
Ø Penyerapan (absorbsi) panas matahari
pada bagian permukaan air.
Ø Angin, sebagai penggerak permindahan
massa air.
Ø Aliran vertikal dari air itu
sendiri, terjadi bila disuatu perairan (danau) terdapat lapisan suhu air yaitu
lapisan air yang bersuhu rendah akan turun mendesak lapisan air yang bersuhu
tinggi naik kepermukaan perairan.
Selain itu suhu air sangat berpengaruh terhadap jumlah
oksigen terlarut didalam air. Jika suhu tinggi, air akan lebih lekas jenuh
dengan oksigen dibanding dengan suhunya rendah. Suhu air pada suatu perairan
dapat dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan
laut (altitude), waktu dalam satu hari, penutupan awan, aliran dan kedalaman
air. Peningkatan suhu air mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia,
evaporasi dan volatisasi serta penurunan kelarutan gas dalam air seperti O2,
CO2, N2, CH4 dan sebagainya. Kisaran suhu air yang sangat diperlukan agar
pertumbuhan ikanikan pada perairan tropis dapat berlangsung berkisar antara 25°
C - 32° C. Kisaran suhu tersebut 1° C terjadi penurunan viscosity 2%, hingga
pada suhu 25° C viscositas turun menjadi setengahnya dari nilai viscosity pada
suhu 0° C. Viscosity ini akan berpengaruh terhadap proses pengendapan jasad
renik (plankton), zat-zat dan benda-benda yang melayang didalam air.
BAB
III
METODOLOGI
3.1. Waktu dan tempat
Kegiatan praktikum Suhu dilaksanakan pada hari senin, Tanggal 19 November 2012, pukul 13:30-16:20. Sedangkan
kegiatan Pratikum Salinitas
dilaksanakan pada hari kamis, Tanggal29 November 2012. kegiatan ini di lakukan di Depertemen
Budidaya Perikanan PPPPTK VEDCA Cianjur.
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Adapun alat yang digunakan dalam pelaksanaan peraktek
ini berlangsung dapat di rincikan sebagai berikut:
v Toples
v Stopwatch/hp
v Aerator
v
Timbangan
digital
v
Gayung
v
Ember
v
Alat
tulis (ATK)
v Selang dan batu aerasi
3.2.2. Bahan
Dalam pelaksanaan perektek ini
adapun bahan-bahan yang di gunakan selama peraktek ini berlangsung dapat di
rincikan sebagai berikut:
v Air
v Ikan sampel ( Ikan Nila & Ikan lele )
v Garam dapur
v Es batu
3.3 Parameter yang diamati
v Lama ikan bertahan pada media dengan
salinitas 5ppt dan suhu 20˚C
v
Tingkah
laku ikan nila dan ikan mas selama percobaan
v Survival rate ikan selama percobaan
v Salinitas dan suhu yang mematikan(
lethel ) bagi ikan sampel
3.4.
Prosedur Kerja
3.4.1. Langkah kerja 1 (Respon ikan
terhadap salinitas)
1. Bersihkan toples
dengan menggunakan spons
2. Isi akuarium dengan air (secukupnya)
3. Timbangan kebutuhan garam untuk membuat media
dengan salinitas tertentu
4. Masukan garam ke dalam akurium, aduk sampai
homogen
5. Masukan 2 jenis ikan
sempel dengan jumlah masing-masing 10 ekor, terlebih dahulu timbang bobot awal
ikan sempel dengan menggunakan timbangan digital
6. Amati tingkah
laku ikan sempel setiap 10 menit dan catat jumlah ikan sempel yang mati selama
percobaan
7. Timbang bobot
akhir ikan sampel
3.4. Analisis data
3.4.1. Mortalitas dan SR
3.4.2. Langkah kerja 2 (Respon ikan terhadap suhu)
1. Bersihkan toples dengan
menggunakan spons
2. Isi akuarium dengan air
(sampai secukupnya)
3. Masukan es batu / air
panas ke dalam media sampai mencapai suhu yang di inginkan
4. Masukan 2 jenis ikan
sempel dengan jumlah masing-masing 10 ekor, terlebih dahulu timbang bobot awal
ikan sempel dengan menggunakan timbangan digital
5. Amati tingkah laku ikan
sempel setiap 10 menit dan catat jumlah ikan sempel yang mati selama percobaan
6. Timbang bobot akhir ikan
sampel
3.4.3. Parameter yang diamati
1. Lama bertahan ikan pada
media dengan salinitas dan suhu tertentu
2. Tingkah laku ikan selama
percobaan
3. Survival rate ikan
selama percobaan
4. Salinitas dan suhu yang
mematikan
BAB VI
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. HASIL
Tabel 1. Perubahan Bobot Ikan Terhadap
Salinitas
Salinitas
|
Jenis Ikan
|
Bobot Awal
|
Bobot Akhir
|
Perubahan Bobot
|
Konstan
10 ppt
|
Ikan Nila : 5 ekor
|
230,56 gr
|
82,26 gr
|
145,3 gr
|
Rata-rata
|
46,11 gr/ekor
|
17,05 gr/ekor
|
29,06 gr/ekor
|
|
Ikan Lele : 5 ekor
|
160,07 gr
|
26,13 gr
|
133,34 gr
|
|
Rata-rata
|
32,01 gr/ekor
|
5,23 gr/ekor
|
26,78 gr
|
|
Gradual
5 – 25 ppt
|
Ikan Nila : 5 ekor
|
238,63 gr
|
87,77 gr
|
150,86 gr
|
Rata-rata
|
47,72 gr/ekor
|
17,16 gr/ekor
|
30,56 gr/ekor
|
|
Ikan Lele : 5 ekor
|
171,17 gr
|
26,13 gr
|
28,68 gr
|
|
Rata-rata
|
34,23 gr/ekor
|
5,22 gr/ekor
|
29,01 gr/ekor
|
Tabel. 2 Perubahan Bobot Ikan Terhadap Suhu
Suhu
|
Jenis Ikan
|
Bobot Awal
|
Bobot Akhir
|
Perubahan Bobot
|
40oC
|
Ikan Nila : 5 ekor
|
32,5 gr
|
5,2 gr
|
27,3 gr
|
Rata-rata
|
6,5 gr/ekor
|
1,04 gr/ekor
|
5,46 gr/ekor
|
|
Ikan Lele : 5 ekor
|
61,5 gr
|
52,85 gr
|
8,65 gr
|
|
Rata-rata
|
12,2 gr/ekor
|
10,57 gr/ekor
|
1,63 gr/ekor
|
|
29oC - 17oC
|
Ikan Nila : 5 ekor
|
32,5 gr
|
21,9 gr
|
10,6 gr
|
Rata-rata
|
6,5 gr/ekor
|
4,38 gr/ekor
|
2,12 gr/ekor
|
|
Ikan Lele : 5 ekor
|
61 gr
|
60,5 gr
|
0,5 gr
|
|
Rata-rata
|
12,2 gr/ekor
|
12,1 gr/ekor
|
0,1 gr/ekor
|
Keterangan : Pada perlakuan 40oC, menit ke 40
Ikan Lele mati sebanyak 5 ekor dengan bobot akhir 10,57gr/ekor
·
Tabel
3. Tingkah Laku Ikan Sampel Pada Salinitas 10 ppt dan Salinitas Gradual 5
- 25 ppt
Waktu
(menit)
|
Tingkah Laku Ikan Nila
|
Tingkah Laku Ikan Nila
|
10
|
§
Warna pucat berenang di dasar. (Menit ke-1)
§
Mulut terbuka cepat. (Menit ke-8 )
§
Overculum terbuka lebar tapi lambat. (Menit ke-9)
§
Pergerakan lambat (Menit ke-10)
|
§
Sering ke permukaan. (Menit ke-1)
§
Berenang menabrak dinding, 1 ekor melompat. (Menit ke-2)
§
1 ekor melompat (Menit ke-3)
§
Mulut mulai memerah. (Menit ke-4)
§
1 ekor melompat ke luar. (Menit ke-7)
§
1 ekor berenang berdiri. (Menit ke-8)
§
1 ekor mengejar 2 ekor nila, perut memerah. (Menit ke-9)
§
Menabrakan mulutnya ke dinding. (Menit ke-10)
|
20
|
§
Sirip dada bergerak cepat. (Menit ke-11)
§
Mulut terbuka lebar dan menabrakan ke dinding. (Menit ke-13)
§
Sirip ekor bergerak. (Menit ke-17)
|
§ Berenang aktif. (Menit ke-11)
§ 4 ekor ke permukaan. (Menit ke-12)
§ 3 ekor ke permukaan. (Menit ke-16)
§ 5 ekor ke permukaan. (Menit ke-18)
|
30
|
§
Mulut ikan terbuka lebar, sirip dada dan sirip ekor bergerak cepat.
(Menit ke-27)
§
Berenang di dasar air. (Menit ke-29)
|
§
4 ekor mengumpul ke permukaan. (Menit
ke-23)
§
Lele sering melompat ke luar. (Menit
ke-27)
|
40
|
§
2 ekor berenang ke permukaan sambil membuka mulutnya mengambil oksigen.
(Menit ke-31)
§
1 ekor mengeluarkan feses. (Menit ke-36)
§
Mulut terbuka lebar tapi lambat. (Menit ke-38)
|
§
Terus berusaha melompat ke luar.
(.Menit ke-31)
§
Berenang berdiri di dinding. (Menit
ke-35)
§
2 ekor berdiri ke permukaan. (Menit
ke-36)
§
5 ekor berdiri kepermukaan. (Menit
ke-37)
§
2 ekor seluruh badannya memerah. (38)
|
50
|
§
Overculum terbuka cepat. (Menit ke-43)
§
Mata semakin memerah, mulai berenang aktif. (Menit ke-45)
§
1 ekor berenang ke permukan. (Menit ke-46)
§
2 ekor ke permukaan. (Menit ke-49)
|
§
5 ekor berdiri ke permukaan. (Menit
ke-42)
§
5 ekor tidak aktif berenang, hanya
berdiri di permukaan
|
Tabel. 4 Tingkah Laku Ikan Pada Salinitas
Gradual 5-25 ppt
Waktu
(menit)
|
Tingkah Laku Ikan Nila
|
Tingkah Laku Ikan Nila
|
10
Salinitas
5ppt
|
§
Diam di dasar. (Menit ke-1)
§
Warna Pucat. (Menit ke- 2)
§
Sirip ekor berwarna
merah. (Menit ke-3)
§ Sirip punggung bererak cepat. (Menit ke-6)
§ Semua ikan berenang di dasar. (Menit ke-9)
|
§
Overculum bergerak cepat. (Menit ke-1)
§
Mangap-mangap dan berwarna pucat. (Menit ke-2)
§
Bergerak aktif. (Menit ke-3)
§
Lele menabrak dinding. (Menit ke-5)
§
1 ekor mengambang. (Menit ke-6)
§
1 ekor berenang berdiri. (Menit ke-7)
§
Lele mulai setres. (Menit ke-10)
|
20
Salinitas
10 ppt
|
§ Sirip ekor memerah. (Menit ke-11)
§ Tubuh semakin memucat. (Menit ke-14)
§ Matanya memerah. (Menit ke-15)
§ Berenang di permukaan. (Menit ke-16)
|
§
Berputar-putar bergerak cepat. (Menit ke-11)
§
1 ekor pingsan. (Menit ke-12)
§
Bergerak cepat. (Menit ke 13)
§
2 ekor stres. (Menit ke 17)
|
30
Salinitar
15 ppt
|
§ Lingkaran mata, berwarna hitam membesar. (Menit ke-22)
|
§
Loncat-loncat. (Menit ke-21)
§
Loncat ke permukaan. (Menit ke-22)
§
Tubuh bebercak putih dan mengambang ke atas. (Menit ke-23)
§
3 ekor pingsan. (Menit ke-24)
§
Melompat ke permukaan. (Menit ke-25)
§
Mata kelihatan pucat. (Menit ke-26)
§
Seluruh lele terlihat pucat. (Menit ke-30 )
|
40
Salinitas
20 ppt
|
§ Bergerak semakin aktif. (Menit ke-34)
§ Menabrak dinding permukaan. (Menit ke-38)
|
§
Berenang ke permukaan. (Menit ke-31)
§
Bergerak aktif dan menabrak dinding. (Menit ke-37)
§
Berenang di permukaan. (Menit ke-40)
|
50
Salinitas
25 ppt
|
§ Mangap-mangap ke permukaan. (Menit ke-41)
§ Masih berenang aktif. (Menit ke-46)
§ 1 ekor mangap-mangap ke permukaan. (Menit ke-48)
§ Mengeluarkan feses dan tubuh terlihat pucat. (Menit
ke-50)
|
§
Mengambang ke permukaan. (Menit ke-43)
§
2 ekor berenang di permukaan. (Menit ke 46)
§
3 ekor berenang ke permukaan. (Menit ke-48)
§
4 ekor berenang ke permukaan. (Menit ke-50)
|
Tabel 5. Tingkah Laku
Ikan Sampel Pada Suhu 40⁰ C
Waktu
(menit)
|
Tingkah
Laku Ikan Nila
|
Tingkah
Laku Ikan Lele
|
10
|
•
|
§
Pergerakan lele sangat cepat (agresif).
§
Ikan Lele terlihat lemas.
§
Mulutnya mangap-mangap.
§
Banyak mengeluarkan feses.
|
20
|
§
Warna Ikan terlihat pucat.
§
Berenag menabrak dinding toples.
|
§
Geraknya lambat.
§
1 ekor Ikan Lele pingsan.
§
Ikan Lele mulai setres.
§
Ikan Lele bibirnya merah.
|
30
|
§
Ikan Nila melompat-lompat.
§
Belang ikan nila terlihat jelas.
§
Overculum Ikan Nila terbuka dan menutup dengan cepat.
|
§
Berenang berbalik badan.
§
Overculum Ikan Lele terbuka semua.
|
40
|
§
Ikan Nila melompat ke permukaan.
§
Ikan Nila melompat lebih cepat ke permukaan.
§
Terlihat lemas.
§
4 ekor berenang di dasar, 1 ekor menabrakan mulutnya ke
dinding toples.
|
§
Kondisinya lemas.
§
Ikan Lele melompat ke
§
dinding.
§
2 ekor berdiri ke permukaan, 3 ekor berenang di dasar.
§
Berenang ke permukaan.
|
50
|
§
5 ekor berenang di dasar.
§
1 ekor berenang di bawah aerasi.
§
Warna Ikan semakin hitam.
|
§
1 ekor berenang di permukaan dengan mulut terbuka.
§
Dada semakin memerah.
§
4 ekor berenang ke permukaan dan badan melengkung.
|
·
Tabel. 6 Tingkah
Laku Ikan Sampel Pada Perlakuan Gradual
Waktu
(menit)
|
Tingkah
Laku Ikan Nila
|
Tingkah
Laku Ikan Lele
|
10
|
§
Kekurangan oksigen berdiri ke permukaan
§
Terlihat lemas
|
|
20
|
§
Overculum terbuka cepat
§
Sirip dada bergerak cepat
§
Tidak aktif berenang
|
§
Berenang dengan berdiri
§
Overculum berwarna merah
§
Pingsan 1 ekor
|
30
|
§
Berenang di dasar
§
Overculum terbuka cepat
§
Mengambil oksigen ke permukaan
|
§
Berenang di dasar
§
Berenang tidak stabil dan lambat
§
Overculum tidak terbuka
§
Melompat ke permukaan
|
40
|
§
Mengambil oksigen ke permukaan
§
Berenang tidak aktif.
§
Warna ikan semakin hitam
|
§
Berenang di bawah aerasi
§
Melompat ke permukaan
|
Tabel
7.
Jumlah ikan yang hidup pada salinitas 10 ppt dan pada Salinitas Gradual 5 - 25
ppt
Waktu
(menit)
|
Jumlah Ikan Yang Hidup
|
|
Ikan Nila
|
Ikan Lele
|
|
10
|
5 ekor
|
5 ekor
|
20
|
5 ekor
|
5 ekor
|
30
|
5 ekor
|
5 ekor
|
40
|
5 ekor
|
5 ekor
|
50
|
5 ekor
|
0 ekor
|
60
|
5 ekor
|
0 ekor
|
Waktu
(menit)
|
Jumlah Ikan Yang Hidup
|
|
Ikan Nila
|
Ikan Lele
|
|
10
|
5 ekor
|
5 ekor
|
20
|
5 ekor
|
5 ekor
|
30
|
5 ekor
|
5 ekor
|
40
|
5 ekor
|
5 ekor
|
50
|
5 ekor
|
5 ekor
|
Tabel
8.
Jumlah Ikan Yang Hidup Pada Suhu 40⁰ C
dan pada Suhu Gradual 29oC –
17oC
§ Jumlah Ikan yang Hidup pada Suhu 40⁰
C
Waktu
(menit)
|
Jumlah
Ikan Yang Hidup
|
|
Ikan
Nila
|
Ikan
Lele
|
|
10
|
5 ekor
|
5 ekor
|
20
|
5 ekor
|
5 ekor
|
30
|
5 ekor
|
5 ekor
|
40
|
5 ekor
|
0 ekor
|
50
|
5 ekor
|
0 ekor
|
§ Tabel.
9 Jumlah Ikan yang
Hidup pada Suhu Gradual 29oC
– 17oC
Waktu
(menit)
|
Jumlah
Ikan Yang Hidup
|
|
Ikan
Nila
|
Ikan
Lele
|
|
10
|
5 ekor
|
5 ekor
|
20
|
5 ekor
|
5 ekor
|
30
|
5 ekor
|
5 ekor
|
40
|
5 ekor
|
0 ekor
|
50
|
5 ekor
|
0 ekor
|
4.2 PEMBAHASAN
4.2.1.
Pengaruh suhu
Dari hasil pengamatan diperoleh
hasil bahwa aktivitas ikan mulai berkurang pada suhu 400 C. Hal ini
dapat dilihat dari tingkat mortalitas ikan. Pada suhu yang gradual, aktivitas
ikan menunjukkan bahwa ikan sedang mengalami stres. Pada suhu gradual terjadi
kematian akibat \air berasal dari gabungan semua suhu air, yang menyebabkan
suhu air tidak menentu dan terjadi fluktuasi dalam waktu yang relatif singkat,
sehingga ikan mengalami stres. Pada suhu tinggi, tingkat mortalitas ikan terjadi sangat cepat
karena ikan tidak mampu melakukan aklimatisasi pada suhu yang sangat jauh dari
rentang suhu yang bisa ditoleransi. Kisaran suhu untuk ikan nila adalah 23-300C, namun suhu optimum bagi
pertumbuhannya adalah 240C (Effendie 2007), Seiring dengan peningkatan suhu, proses respirasi dan
metabolisme ikan pun ikut meningkat. Perubahan suhu yang mendadak sebesar 50C
dapat menyebabkan stres pada ikan bahkan kematian (Kordi 2000). Akibat
perubahan suhu yang signifikan, pada suhu di ≥ 320 C menyebabkan
ikan mengalami kesulitan dalam proses aklimatisasi, sehingga akan mempengaruhi
aktivitas ikan dan bisa menyebabkan kematian akibat kegagalan dalam proses aklimatisasi.
Pada akhir penelitian, umumnya bobot
ikan yang dipapar dengan suhu tinggi mengalami penurunan. Hal ini disebabkan
karena energi ikan terkuras habis saat melakukan aklimatisasi dan banyaknya
cairan yang keluar dari tubuh ikan dalam bentuk lendir akibat tekanan osmotik
yang mengalami perubahan. Insang ikan yang keluar disebabkan oleh stres
pernafasan yang dialami ikan akibat konsetrasi O2 yang sangat rendah
dalam air.
Sedangkan menurut Irianto (2005)
suhu tinggi tidak selalu berakibat mematikan tetapi dapat menyebabkan gangguan
status kesehatan untuk jangka panjang, misalnya stres yang ditandai dengan
tubuh lemah, kurus, dan tingkah laku
abnormal. Peningkatan suhu air dapat menyebabkan penurunan kelarutan gas-gas,
tetapi meningkatkan solubilitas senyawa-senyawa toksik seperti polutan minyak
mentah dan pestisida, serta meningkatkan toksisitas logam berat (Munro 1987).
Suhu adalah ukuran energi gerakan
molekul. Di samudera, suhu bervariasi secara horizontal sesuai garis lintang
dan juga secara vertikal sesuai dengan kedalaman. Suhu merupakan salah satu
faktor yang penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme.
Proses kehidupan yang vital yang secara kolektif disebut metabolisme, hanya berfungsi
didalam kisaran suhu yang relative sempit biasanya antara 0-40°C, meskipun
demikian bebarapa beberapa ganggang hijau biru mampu mentolerir suhu sampai
85°C. Selain itu, suhu juga sangat penting bagi kehidupan organisme di
perairan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas maupun perkembangbiakan dari
organisme tersebut. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak dijumpai
bermacam-macam jenis ikan yang terdapat di berbagai tempat di dunia yang
mempunyai toleransi tertentu terhadap suhu. Ada yang mempunyai toleransi yang
besar terhadap perubahan suhu, disebut bersifat euryterm. Sebaliknya ada pula
yang toleransinya kecil, disebut bersifat stenoterm. Sebagai contoh ikan di
daerah sub-tropis dan kutub mampu mentolerir suhu yang rendah, sedangkan ikan di
daerah tropis menyukai suhu yang hangat. Suhu optimum dibutuhkan oleh ikan
untuk pertumbuhannya. Ikan yang berada pada suhu yang cocok, memiliki selera
makan yang lebih baik.
Beberapa ahli mengemukakan tentang suhu :
- Nontji (1987), menyatakan suhu merupakan parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh sangat dominan terhadap kehidupan ikan khususnya dan sumber daya hayati laut pada umumnya.
- Hela dan Laevastu (1970), hampir semua populasi ikan yang hidup di laut mempunyai suhu optimum untuk kehidupannya, maka dengan mengetahui suhu optimum dari suatu spesies ikan, kita dapat menduga keberadaan kelompok ikan, yang kemudian dapat digunakan untuk tujuan perikanan.
- Nybakken (1988), sebagian besar biota laut bersifat poikilometrik (suhu tubuh dipengaruhi lingkungan) sehingga suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme.
Sesuai apa
yg dikatakan Nybakken pada tahun 1988 bahwa Sebagian besar organisme laut
bersifat poikilotermik (suhu tubuh sangat dipengaruhi suhu massa air
sekitarnya), oleh karenanya pola penyebaran organisme laut sangat mengikuti
perbedaan suhu laut secara geografik. Berdasarkan penyebaran suhu permukaan
laut dan penyebaran organisme secara keseluruhan maka dapat dibedakan menjadi 4
zona biogeografik utama yaitu: kutub, tropic, beriklim sedang panas dan
beriklim sedang dingin. Terdapat pula zona peralihan antara daerah-daerah ini,
tetapi tidak mutlak karena pembatasannya dapat agak berubah sesuai dengan
musim.
Organisme perairan seperti ikan
maupun udang mampu hidup baik pada kisaran suhu 20-30°C. Perubahan suhu di
bawah 20°C atau di atas 30°C menyebabkan ikan mengalami stres yang biasanya
diikuti oleh menurunnya daya cerna (Trubus Edisi 425, 2005). Oksigen terlarut
pada air yang ideal adalah 5-7 ppm. Jika kurang dari itu maka resiko kematian
dari ikan akan semakin tinggi. Namun tidak semuanya seperti itu, ada juga
beberapa ikan yang mampu hidup suhu yang sangat ekstrim.
Dari data satelit NOAA, contoh jenis
ikan yang hidup pada suhu optimum 20-30°C adalah jenis ikan ikan pelagis.
Karena keberadaan beberapa ikan pelagis pada suatu perairan sangat dipengaruhi
oleh faktor-faktor oseanografi. Faktor oseanografis yang dominan adalah suhu
perairan. Hal ini dsebabkan karena pada umumnya setiap spesies ikan akan
memilih suhu yang sesuai dengan lingkungannya untuk makan, memijah dan
aktivitas lainnya. Seperti misalnya di daerah barat Sumatera, musim ikan
cakalang di Perairan Siberut puncaknya pada musim timur dimana SPL 24-26°C,
Perairan Sipora 25-27°C, Perairan Pagai Selatan 21-23°C.
4.2.2. Pengaruh salinitas
Dari hasil pengamatan diperoleh
hasil bahwa aktivitas ikan mulai berkurang dan ikan lele
tubuhnya mulai melemas
pada salinitas 40 ppt.
Hal ini dapat dilihat dari pergerakan ikan lele itu sendiri yang
sudah mengambang berdiri dipermukaan. Pada salinitas yang gradual, aktivitas ikan nila dan ikan
lele menunjukkan bahwa ikan sedang
mengalami stres. Kisaran salinitas yang baik untuk ikan nila 20ppt,
sedangkan pada ikan lele adalah 10ppt.
Seiring dengan peningkatan salinitas, proses respirasi dan metabolisme
ikan pun ikut meningkat.
Perubahan suhu yang mendadak sebesar 50C dapat menyebabkan stres
pada ikan bahkan kematian (Kordi 2000). Akibat perubahan suhu yang signifikan,
pada suhu di ≥ 320 C menyebabkan ikan mengalami kesulitan dalam
proses aklimatisasi, sehingga akan mempengaruhi aktivitas ikan dan bisa
menyebabkan kematian
akibat kegagalan dalam proses aklimatisasi.
Pada akhir penelitian, umumnya bobot
ikan yang dipapar dengan salinitas tinggi mengalami penurunan. Hal ini
disebabkan karena energi ikan terkuras habis saat melakukan aklimatisasi dan
banyaknya cairan yang keluar dari tubuh ikan dalam bentuk lendir akibat tekanan
osmotik yang mengalami perubahan. Insang ikan yang keluar disebabkan oleh stres
pernafasan yang dialami ikan akibat konsetrasi O2 yang sangat rendah
dalam air.
Salinitas adalah kadar garam seluruh
zat yang larut dalam 1.000 gram air laut, dengan asumsi bahwa seluruh karbonat
telah diubah menjadi oksida, semua brom dan lod diganti dengan khlor yang
setara dan semua zat organik menga1ami oksidasi sempuma (Forch et al,1902 dalam
Sverdrup et al, 1942). Salinitas mempunyai peran penting dan memiliki ikatan
erat dengan kehidupan organisme perairan termasuk ikan, dimana secara
fisiologis salinitas berkaitan erat dengan penyesuaian tekanan osmotik ikan
tersebut.kdy
4.2.2.1 Faktor – faktor yang mempengaruhi
salinitas :
- Penguapan, makin besar tingkat penguapan air laut di suatu wilayah, maka salinitasnya tinggi dan sebaliknya pada daerah yang rendah tingkat penguapan air lautnya, maka daerah itu rendah kadar garamnya.
- Curah hujan, makin besar/banyak curah hujan di suatu wilayah laut maka salinitas air laut itu akan rendah dan sebaliknya makin sedikit/kecil curah hujan yang turun salinitas akan tinggi.
- Banyak sedikitnya sungai yang bermuara di laut tersebut, makin banyak sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitas laut tersebut akan rendah, dan sebaliknya makin sedikit sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitasnya akan tinggi.
Distribusi salinitas permukaan juga
cenderung zonal. Air laut bersalinitas lebih tinggi terdapat di daerah lintang
tengah dimana evaporasi tinggi. Air laut lebih tawar terdapat di dekat ekuator
dimana air hujan mentawarkan air asin di permukaan laut, sedangkan pada daerah
lintang tinggi terdapat es yang mencair akan menawarkan salinitas air
permukaannya.
Di perairan lepas pantai yang dalam,
angin dapat pula melakukan pengadukan di lapisan atas hingga membentuk lapisan
homogen kira-kira setebal 50-70 m atau lebih bergantung intensitas pengadukan.
Di perairan dangkal, lapisan homogen ini berlanjut sampai ke dasar. Di lapisan
dengan salinitas homogen, suhu juga biasanya homogen. Baru di bawahnya terdapat
lapisan pegat (discontinuity layer) dengan gradasi densitas yang tajam yang
menghambat percampuran antara lapisan di atas dan di bawahnya. Di bawah lapisan
homogen, sebaran salinitas tidak banyak lagi ditentukan oleh angin tetapi oleh
pola sirkulasi massa air di lapisan massa air di lapisan dalam. Gerakan massa
air ini bisa ditelusuri antara lain dengan mengakji sifat-sifat sebaran
salinitas maksimum dan salinitas minimum dengan metode inti (core layer
method). Salinitas di daerah subpolar (yaitu daerah di atas daerah subtropis
hingga mendekati kutub) rendah di permukaan dan bertambah secara tetap
(monotonik) terhadap kedalaman. Di daerah subtropis (atau semi tropis, yaitu
daerah antara 23,5o – 40oLU atau 23,5o – 40oLS),
salinitas di permukaan lebih besar daripada di kedalaman akibat besarnya evaporasi
(penguapan). Di kedalaman sekitar 500 sampai 1000 meter harga salinitasnya
rendah dan kembali bertambah secara monotonik terhadap kedalaman. Sementara
itu, di daerah tropis salinitas di permukaan lebih rendah daripada di kedalaman
akibatnya tingginya presipitasi (curah hujan).
Salinitas dipengaruhi oleh massa air
oseanis di bagian utara hingga bagian tengah perairan, dan massa air tawar dari
daratan yang mempengaruhi massa air di bagian selatan dan bagian utara dekat
pantai. Kondisi ini mempengaruhi densitas ikan, dan kebanyakan kelompok ikan
yang ditemukan dengan densitas tinggi (0,9 ikan/mł) pada daerah bagian selatan
dengan salinitas antara 29,36-31,84 ‰, dan densitas 0,4 ikan/mł di bagian
utara dengan salinitas 29,97-32,59 ‰ . Densitas ikan tertinggi pada
lapisan kedalaman 5-15 m (0,8 ikan/mł) ditemukan pada daerah dengan salinitas
≥31,5 ‰ yaitu pada bagian utara perairan. Dibagian selatan, densitas ikan
tertinggi sebesar 0,6-0,7 ikan/mł ditemukan pada daerah dengan salinitas ≤30,0
‰. Pola pergeseran nilai salinitas hampir sama di tiap kedalaman, dengan nilai
yang makin bertambah sesuai dengan makin dalam perairan. Pada lapisan kedalaman
15-25 m, kisaran salinitas meningkat hingga lebih dari 32 ‰, dan konsentrasi
densitas ikan ditemukan lebih dari 0,4 ikan/mł dengan areal yang lebih besar
pada konsentrasi salinitas ≤31,5 ‰. Konsentrasi ikan yang ditemukan pada daerah
dengan salinitas ≥32,0 ‰, yaitu di bagian utara perairan sebesar 0,2-0,3
ikan/mł.
Pada lapisan kedalaman 25-35 m dan
35-45 m dijumpai kisaran salinitas yang hampir sama yaitu 31,43-32,53 ‰ dan
31,77-32,73 ‰, dengan distribusi densitas ikan lebih banyak ditemukan pada
daerah dengan salinitas 32,0-32,5 ‰ yaitu sebesar 0,1-0,8 ikan/mł, dan kelompok
ikan dengan densitas lebih kecil dari 0,1 ikan/mł banyakditemukan pada perairan
dengan salinitas ≤32,0 ‰. Pada lapisan kedalaman 35-45 m, konsentrasi densitas
ikan makin berkurang. Densitas tertinggi di lapisan ini hanya sebesar 0,17
ikan/mł, atau rata-rata densitas ikan yang ditemukan di bawah 0,1 ikan/mł. Hal
ini sesuai dengan ukuran ikan yang terdeteksi, yang umumnya merupakan ikan-ikan
berukuran kecil. Dari data diatas saya
dapat menyebutkan bahwa salinitas air laut pun ditentukan pula dengan
kedalamannya, karena kedalaman air laut dapat membedakan salinitas.
0 komentar:
Posting Komentar